Jumat, 12 September 2008

22 Agustus 08 Pendemo Buang Keranda Kelaut


-Sebagai Simbol Buang Sial

BATAMCENTRE- Sehari, Pemko Batam di demo dua ormas yang beranggotakan sekitar 50 orang. Keduanya meminta Pemko Batam bersikap tegas atas persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, yakni hak tinggal dan hak buruh. Dalam orasi yang mereka lakukan, pendemo tersebut membuang keranda mayat ke laut sebagai simbol buang sial.
Ormas yang menggelar demonstrasi di halaman kantor Walikota Batam, Kamis (21/8) kemaren adalah Gerakan Masyarakat Pengawas Borokrasi (Gemawasbi) dan Gabungan Buruh Bersatu (Gubsu). Uniknya demontrasi yang mereka lakukan terpadu dan saling bergantian. Ketika Gemawasbi menggelar orasi, Gubsu ikut berteriak, begitu juga sebaliknya.
Hal lain yang mereka lakukan selama orasi yang dimulai sejak pukul 10.30 hingga pukul 12.00 tersebut adalah berjalan di jalan Engku Putri di depan gedung Pemko Batam dan Otorita Batam.
Pendemo dari Gemawasbi yang mengenakan pakaian kain penutup badan berwarna hitam dan menggenakan payung hitam. Di kain dan payung tersebut bertuliskan bermacam-macam pernyataan, diantaranya kami lama membangun pantai Melur, jangan ganggu kehidupan kami, Walikota tidak bermoral, Walikota hanya memikirkan uang, turunkan walikota, jangan rampas hak kami, kami telah membantu pemerintah dalam pengungsian Vietnam, kenapa kami ditindas, dan sejumlah tulisan lainnya. Untuk itu, Gemawasbi meminta kepastian dan jaminan pemerintah terhadap penduduk yang ditindas hak-haknya sebagai penduduk untuk tinggal ditempat yang telah lama ditempati.
Muslimin salah satu warga di pantai Melur yang diwawancarai Sijori Mandiri disela-sela orasi menyebutkan ia sudah puluhan tahun tinggal di kawasan pantai Melur, dengan pekerjaan sebagai penyedia alat berenang bagi pengunjung yang datang berkunjung ke pantai tersebut. Namun dengan alasan penataan pantai, pemerintah ingin menggusurnya dari kawasan tersebut.
"Kami mau dipindahkan dari tempat semula sejauh 1 kilometer, dan ditempat yang baru itu hutan, bagaimana saya mencari uang jika saya dipindahkan ketempat yang tidak dikunjungi orang, dimana letak hatinurani pemerintah," ujar Muslimin.
Ditambahkan Kasim, yang berprofesi sama dengan Muslimin menyebutkan selain tempat yang disediakan jauh dari kawasan ramai, luas area yang disediakan juga kecil, yakni berukuran 3 x 3 meter. Sehingga mereka keberatan.
"Coba bayangkan, tempat yang disediakan hanya 3 x 3 meter, apa yang mau kami letakan disana, untuk muat ban saja tidak cukup," ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Gunawan. Gunawan menyebutkan, warga disekitar pantai Melur rata-rata bekerja sebagai penyedia jasa alat-alat renang bagi pengunjung. Dan pengunjung kekawasan tersebut ramai hanya sekali dalam seminggu dan hari-hari libur saja. Sehingga masyarakat disana berpenghasilan hanya berdasarkan jumlah kunjungan wisata. Jika mereka digusur, mereka tidak tahu lagi mau kemana. Untuk itu mereka meminta pemerintah untuk lebih bijak menangani permasalahan yang tengah mereka hadapi.
Sementara, pendemo dari Gubsu yang menggenakan penutup badan warna hijau. Kain itu juga dihiasi sejumlah tulisan seperti buruh bukang kambing perahan, dikemanakan uang jamsostek kami, pemerintah Batam mandul, jangan seenak udelmu P-H-K buruh, dan lainnya. Mereka menggelar orasi dengan membawa keranda mayat. Para pendemo tersebut merupakan gabungan dari sejumlah pekerja yang telah di PHK oleh perusahaan tempat mereka bekerja secara sepihak. Gubsu meminta ketegasan pemerintah terhadap nasib buruh yang diperlakukan semena-mena oleh pengusaha.
Norita Tampubolon yang merupakan korban PHK dari PT Hi Tech Seraya yang juga menjadi koordinator dari aksi tersebut menyebutkan bahwa yang mengikuti aksi unjukrasa tersebut merupakan orang-orang yang telah di PHK oleh sejumlah perusahaan di Batam secara sepihak. Dirinya sendiri sebagai korban PHK sepihak yang dilakukan oleh PT Hi Tech menyebutkan hingga kini belum ada kejelasan upah lembur yang pernah mereka tuntut dari perusahaan. Selain itu, mereka juga menuntut pembayaran jamsostek yang hingga kini belum jelas.
"Kami meminta pemerintah untuk memperhatikan nasib kami sebagai buruh yang sleama ini menjadi korban atas sikap yang semena-mena oleh perusahaan, seperti halnya dalam proses penyelesaian uang pesangon, Jamsostek, upah lembur, serta sistem kerja yang dibuat oleh perusahaan, dimana para buruh seolah-olah menjadi pekerja rodi (paksa)," ujar Norita.
Akhir dari demonstrasi tersebut, mereka berjalan dengan membawa keranda ke laut yang berada di sebelah kanan bangunan Sumatera Promotion Centre. Disana mereka membuang keranda tersebut sebagai simbol buang sial.
"Diharapkan dengan membuang keranda ini, segala kesialan bisa hilang, dan pemimpin kita berpikir jernih untuk rakyatnya," ujar mereka beramai-ramai.(sm/an)

Tidak ada komentar: